Toga Sipoholon merupakan sebuah nama yang acap kali disebut-sebut sebagai nama salah satu putera Raja Naipospos yang menurunkan 4 (empat) marga, yaitu: Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Padahal Sipoholon bukanlah salah satu putera Raja Naipospos melainkan nama salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara sekarang.
Daftar isi
|
Arti Toga Sipoholon secara harfiah
Dalam bahasa Batak, toga dapat diartikan sebagai kumpulan (punguan). Toga digunakan oleh Suku bangsa Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba) ke dalam persatuan (parsadaan) marga. Seperti halnya Toga Sihombing sebagai persatuan kumpulan marga Sihombing (Silaban-Lumban Toruan-Nababan-Huta Soit).
Dengan memakai istilah toga pada Sipoholon, mengibaratkan Sipoholon sebagai manusia yang menurunkan marga Sipoholon beserta keturunannya. Padahal hingga saat ini marga Sipoholon tidak ada dan tidak akan pernah ada dijadikan marga oleh keturunan Raja Naipospos. Karena Sipoholon bukanlah nama salah satu putera Raja Naipospos.
Asal mula nama Sipoholon
Sipoholon adalah sebuah nama daerah dan bukan nama salah satu putera Raja Naipospos. Sebagai nama daerah, tentu mempunyai sejarah asal mula nama Sipoholon tersebut.
Menurut pengakuan masyarakat Sipoholon, Sipoholon berasal dari kata Sipohulon. Kata sipohulon ini bermula ketika zaman pembuatan periuk dari tanah liat atau hudon tano. Bahan baku pembuatan adalah tanah dari Sipoholon sekarang. Oleh karena tanah tersebut diremas (dipohuli), maka Sipoholon sekarang disebut sebagai tano Sipohulon. Seiring waktu, pengucapan Sipohulon menjadi Sipoholon.
Jika direnungkan dan dipikirkan secara masak-masak, tampak tak ada hubungan sama sekali antara asal-mula nama Sipoholon dengan Raja Naipospos pada masa itu. Karena perlu ditambahkan pada masa Raja Naipospos, Dolok Imun Hutaraja tidak disebut sebagai Sipoholon pada masa itu. Seluruh kisah antara putera Naipospos (Sibagariang_Hutauruk_Simanungkalit_Situmeang_Marbun) pun tidak terjadi di Sipoholon melainkan di Huta Raja dan tak ada seorang pun yang dapat mengungkap kisah hidup Toga Sipoholon secara jelas jika dia memang benar-benar salah satu putera Raja Naipospos.
Sipoholon pada zaman sekarang
Sipoholon hingga saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Indonesia.
Sejarah terbentuknya Toga Sipoholon
Menurut pengakuan Torang Hutauruk seorang yang dituakan di Sipoholon yang dikutip oleh saudara Maridup Hutauruk bahwa terbentuknya Toga Sipoholon bermula dengan persoalan antara Sibagariang dengan Marbun pada masa itu. Adik-adik Sibagariang dari kelompok Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang mengambil inisiatif untuk melerai persoalan dengan mengungsikan kelompok Marbun dari tiga kampung itu ke kampung marga Sihombing arah Humbang maka muncullah ‘padan (sumpah janji)’ sebagai awal adanya Toga Sipoholon dan Toga Marbun dengan inti padan bahwa Hutauruk dengan Marbun Lumban Batu menjadi abang adik yang keturunannya tidak boleh ‘masiolian’, kemudian Simanungkalit dengan Marbun Banjar Nahor menjadi abang adik yang keturunannya tidak boleh ‘masiolian’, dan Situmeang dengan Marbun Lumban Gaol menjadi abang adik yang keturunannya tidak boleh ‘masiolian’. Padan ini sampai sekarang memang dipegang teguh dan dihormati oleh masing-masing pasangan marga yang ‘marpadan’, dan itulah kekuatan suatu padan kepada Mulajadi Nabolon yang sampai generasi selanjutnya harus dituturkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang sudah jelas merupakan marga-marga yang menjunjung kemuliaannya dan oleh karena adanya padan yang dikelompokkan dalam suatu parsadaan yang disebut Toga Sipoholon. Sebagai Toga Marbun, maka resmilah Lumban Batu, Banjar Nahor, Lumban Gaol menjadi marga-marga yang juga menjunjung kemuliaannya berdasarkan padan antar Toga Sipoholon dan Toga Marbun. Di antara padan ini tentu saja Sibagariang tidak ikut serta akan tetapi bukan berarti bahwa Sibagariang bukan keturunan Naipospos, malah Sibagariang adalah kakak yang bersoal dengan adiknya. Dari penguraian ini maka jelaslah bahwa Naipospos menurunkan 5 orang penerus generasi yang disebut Donda Hopol (Sibagariang), Donda Ujung (Hutauruk), Ujung Tinumpak (Simanungkalit), Jamita Mangaraja (Situmeang), dan Marbun. Dengan penjelasan ini sudah sah bahwa Naipospos tidak menurunkan generasinya antara dua toga yaitu Toga Sipoholon dan Toga Marbun karena masih ada Sibagariang yang tidak termasuk dalam dua toga tersebut. Kemudian bahwa adanya tujuh marga-marga pinompar Naipospos adalah karena adanya persekongkolan antara dua toga-toga tersebut sehingga terbentuk 7 marga yaitu 6 marga pada dua toga yang marpadan dan ditambah satu marga Sibagariang. Maka Naipospos menurunkan 5 orang penerus generasinya sebagai kebenaran yang dapat dijelaskan. Oleh karena padan inipula maka dua toga ini memanggil haha kepada Sibagariang dan Sibagariang pun masuk dalam kelompok yang empat marga dilahirkan oleh ibu marga Pasaribu yang pertama dikawini oleh Raja Naipospos.
Padan antar marga terbentuk bukanlah harus selevel (sama tingkatan) generasinya. Hutauruk dan Marbun Lumbanbatu, Simanungkalit dan Marbun Banjarnahor, Situmeang dan Marbun Lumbangaol, membentuk padan (janji) secara berpasang-pasangan bukan berarti karena mereka selevel generasinya. Karena yang selevel generasinya adalah Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun. Apabila dibandingkan dengan marga lain, banyak lagi padan (janji) yang terbentuk antar marga yang tidak selevel lagi (sama tingkatan) generasinya. Misalkan: Padan antara Raja Lontung dengan ibundanya Siboru Pareme dalam bentuk bulung motung, Naibaho dengan Sihombing Lumbantoruan, dsb.
Donda Ujung, Ujung Tinumpak, dan Jamita Mangaraja tidaklah lagi secara individu langsung marpadan dengan putera adiknya (anggina) Marbun yaitu Lumban Batu, Banjar Nahor, dan Lumban Gaol. Karena pada waktu itu, masing-masing lima putera Raja Naipospos sudah mempunyai keturunan. Secara logika, karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang sebagai pembentuk padan adalah empat marga yang kompak bersama dengan Sibagariang dari isteri I (pertama) boru Pasaribu, maka untuk menghindari rasa sendiri (sebatang kara) dari Marbun sebagai satu-satunya putera dari isteri II (kedua) boru Pasaribu, padan dengan Marbun pun dikelompokkan berdasarkan tiga orang puteranya (Lumban Batu-Banjar Nahor-Lumban Gaol). Maka muncullah padan antara keturunan Hutauruk dengan Lumban Batu, keturunan Simanungkalit dengan Banjar Nahor, dan keturunan Situmeang dengan Lumban Gaol. Semua ini semata untuk meredakan persoalan yang cukup berat terjadi agar tali persaudaraan tidak putus.
Pernyataan di atas cukup masuk akal. Dikemudian hari, kiranya Toga Sipoholon tidak diidentikkan lagi sebagai nama kumpulan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Karena akan menimbulkan salah paham (mengerti) bagi kalangan muda sebagai generasi penerus marga Naipospos di kemudian hari. Dikhawatirkan apabila Toga Sipoholon masih digunakan maka akan dianggap sebagai salah satu putera Raja Naipospos padahal tidak.
Hingga saat ini telah banyak terbentuk Toga Sipoholon di beberapa daerah. Usaha pembentukan Toga Sipoholon di Hutaraja Sipoholon pernah terjadi. Tetapi oleh pertidaksetujuan para tetua marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang yang tentunya lebih banyak tahu lagi mengenai tarombo, maka Toga Sipoholon tidak dapat dibentuk di Hutaraja Sipoholon. Karena memang demikianlah seharusnya.
Memang diakui, sebenarnya antara keturunan Raja Naipospos dari isteri pertama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) dengan isteri kedua (Marbun) tidak boleh dipisahkan dalam 2 (dua) parsadaan toga atau persatuan kumpulan. Tetapi apa boleh buat, marga Marbun (Lumban Batu-Banjar Nahor-Lumban Gaol) telah terlebih dahulu membentuk persatuan kumpulan yaitu Parsadaan Toga Marbun. Tetapi hal tersebut bisa dimaklumi karena Marbun jauh lebih banyak bilangannya dibanding keturunan isteri pertama Naipospos. Oleh karena itu, persatuan kumpulan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, dikemudian hari adalah lebih baik dengan nama Parsadaan Pomparan ni Raja Naipospos Tubu ni Ina Naparjolo atau Parsadaan Naipospos Naopat Saina. Akan tetapi, di atas semuanya itu adalah lebih baik keturunan Raja Naipospos disatukan dalam satu toga yaitu Parsadaan Pomparan ni Raja Naipospos silima saama pitu marga.
Pro dan kontra terhadap Toga Sipoholon
Pro dan kontra saat ini mungkin adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Tetapi apabila dilihat secara saksama, alangkah jarang terjadi kontra pada marga di Suku bangsa Batak dalam membicarakan tarombo (silsilah). Berikut ini pro dan kontra yang langsung dialami sendiri oleh Haran Ompu Basar Solonggaron Sibagariang (alm) sebagai mantan Kepala Negeri Huta Raja. Kisah ini ini diterjemahkan oleh penulis artikel ini ke dalam bahasa Indonesia dari buku sederhana yang disusun oleh Haran Ompu Basar Solonggaron Sibagariang sendiri dalam bahasa Batak.
Tahun 1921
Tahun 1921 ketika umur saya masih 27 tahun, Assistent Demang dan Demang datang ke Huta Raja meminta agar membuat tarombo (silsilah) Raja Naipospos sekaligus untuk memilih atau membuat Verkessing Kepala Negeri di Huta Raja. Pada masa itu, dapat dikatakan bahwa orang tua dari marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun, yang berumur 70-90 tahun banyak untuk mengikuti kumpulan tersebut. Kerajinan para orang tua tersebut disebabkan oleh belum pernahnya pemerintah menyinggung tentang tarombo (silsilah) marga sebelumnya. Para orang tua dari lima marga Naipospos tersebut secara menyeluruh mengatakan bahwa putera Raja Naipospos adalah sebanyak 5 (lima) orang yang secara berurutan, yaitu: Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun. Kemudian Assistent Demang mengatakan bahwa sesuai tarombo (silsilah) di Sipoholon bahwa Raja Naipospos mempunyai 2 (dua) orang putera yang secara berurutan, yaitu: Toga Sipoholon dan Toga Marbun.
Seluruh para orang tua dari lima marga Naipospos pada kumpulan tersebut kontra (tidak setuju) dengan tarombo (silsilah) yang ditulis di Sipoholon. Demang pun menjawab bahwa dikemudian hari tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospos tersebut akan diperbaiki. Namun tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospos yang akan dicatat adalah sesuai yang ada di Sipoholon. Dengan demikian tarombo (silsilah) yang dicatat oleh Demang pada tahun 1921 tersebut adalah bahwa Raja Naipospos mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu: Toga Sipoholon dan Toga Marbun.
Tahun 1923
Pada tahun 1923 setelah selesainya penulisan tarombo (silsilah) tersebut, pemerintah kemudian meminta agar semua Kepala Negeri R. II yang masuk dalam wilayah Sipoholon dari marga Naipospos agar berkumpul. Controleur dan Demang yang hadir pada saat itu pun bertanya kembali tentang tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospos yang benar. Apakah yang tertulis di Sipoholon atau yang disebutkan di Huta Raja. Saya pun menjelaskan kisah Raja Naipospos dan keturunannya. Saya pun menambahkan bahwa apabila benar Toga Sipoholon yang menurunkan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, merupakan salah satu putera Raja Naipospos, tentu Sipoholon akan dijadikan sebagai marga terlebih dahulu. Tetapi karena hal tersebut adalah tidak benar, maka marga Sipoholon tidak ada.
Saya juga mengatakan bahwa oleh karena Marbun sebagai keturunan Naipospos dari isteri kedua kurang merasa cocok dengan keturunan Naipospos dari isteri pertama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) maka Marbun bersama dengan ibundanya dan seorang saudara perempuan seibunya pergi ke daerah Humbang. Kebetulan hanya Marbun dan seorang saudara perempuanlah (ito) keturunan Naipospos dari isteri kedua boru Pasaribu. Dan mungkin hal tersebut bisa menjadi suatu pelajaran bahwa seorang laki-laki yang mempunyai dua orang isteri atau lebih akan menimbulkan rasa kurang cocok antar anak masing-masing isteri.
Mengenai penjelasan tersebut, mereka yang pro atau mendukung Toga Sipoholon tidak dapat memberikan penjelasan banyak selain berpendapat bahwa daerah Sipoholon berasal dari nama sang nenek moyang Toga Sipoholon. Menjawab hal tersebut, saya pun menjawab bahwa seandainya hal tersebut benar maka daerah Huta Raja akan masuk daerah Sipoholon dengan penyebutan nama Sipoholon Huta Raja. Karena seluruh kisah antara keturunan Raja Naipospos dari isteri pertama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) dengan isteri kedua (Marbun) terjadi di Huta Raja dan bukan di Sipoholon. Mereka pun menyebut bahwa Huta Raja pun termasuk Sipoholon. Saya pun mengatakan, saat inilah bagi pemerintah bahwa Huta Raja termasuk Sipoholon. Bukan hanya itu, Pagar Batu, Rurajulu dan sebagainya termasuk Sipoholon saat ini. Karena yang sebenarnya Sipoholon hanyalah yang termasuk daerah Rura Silindung ini.
Mengenai hal tersebut, Demang mengaku bahwa penjelasan yang diberikan oleh Kepala Negeri Huta Raja (Haran Ompu Basar Solonggaron Sibagariang) adalah lebih jelas. Namun dikarenakan hanyalah saya seorang melawan lima atau tujuh orang yang pro, maka tarombo (silsilah) keturunan Raja Naipospos masih tetap sesuai dengan yang terdapat di Sipoholon (Toga Sipoholon dan Toga Marbun).
Kesimpulan melihat kisah tahun 1921 dan 1923
Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan persoalan tarombo Naipospos. Pemerintah kolonial Belanda menjalankan politik devide et impera-nya, memecah belah dulu baru menguasai. Bangso Batak termasuk keturunan Raja Naipospos pun mulai dipecah-belah Belanda dengan menjadikan keturunan Raja Naipospos dalam 2 kubu (toga) yakni Toga Sipoholon dan Toga Marbun. Karena memang jelas-jelas, semua tetua dari 5 marga yang ikut serta dalam rapat mengenai tarombo Naipospos tahun 1921 seia-sekata menyatakan bahwa Raja Naipospos mempunyai 5 orang putera, dengan urutan: 1. Sibagariang, 2. Hutauruk, 3. Simanungkalit, 4. Situmeang, dan 5. Marbun.
Namun, hal itu ditolak pemerintah kolonial Belanda dan mencatat tarombo Naipospos bahwa Raja Naipospos mempunyai 2 orang putera dengan urutan: Toga Sipoholon dan Toga Marbun. Penulisan ini sesuai dengan yang dikatakan oleh kawula muda di Sipoholon 1923 yang merasa diri lebih pintar daripada pernyataan tetua pada tahun 1921.
Pencatatan tarombo (silsilah) oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut bertujuan untuk penyusunan PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M. Hutagalung. Karena pada kata pengantar (Hata patujolo) tercantum Pangururan, Januari 1926.
PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M. Hutagalung yang banyak terdapat di masyarakat sudah cetakan tahun 1991. Tentu dalam jangka waktu puluhan tahun hingga sekarang, maka tidak bisa dipungkiri bahwa sudah tentu pasti mempunyai perubahan disana-sini. Karena pada cetakan tahun 1991, disebutkan bahwa Raja Naipospos mempunyai dua orang putera yang secara berurutan, yaitu: Toga Marbun dan Toga Sipoholon. Hal ini tentu sudah berlawan (kontra) dengan tarombo (silsilah) yang dicatat di Sipoholon pada tahun 1921 dan 1923 yang menyebutkan bahwa Raja Naipospos mempunyai dua orang putera yang secara berurutan, yaitu: Toga Sipoholon dan Toga Marbun.
Memang untuk menemukan PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni bangso Batak oleh W. M. Hutagalung cetakan pertama tahun 1926 mungkin tidak akan dapat ditemukan lagi karena dikhawatirkan ada yang telah mengubah tarombo (silsilah) tersebut menjadi Toga Marbun dan Toga Sipoholon tanpa alasan yang jelas. Sehingga saat ini pun, antar marga Marbun sendiri ada yang menyebut bahwa Sibagariang sebagai putera sulung, ada pula berpendapat bahwa Sipoholon sebagai putera sulung, dan ada pula berpendapat bahwa Marbun sebagai putera sulung atau bungsu. Pendapat yang menyebutkan bahwa putera Raja Naipospos adalah sebanyak 2 (dua) orang, baik Toga Sipoholon dan Toga Marbun atau Toga Marbun dan Toga Sipoholon adalah salah.
Tarombo Naipospos pada buku "Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba" (J.C. Vergouwen) 1933, pun disalin langsung berdasarkan isi buku PUSTAHA BATAK (W. M. Hutagalung) 1926. Dan banyak lagi buku tarombo yang berdasarkan isi buku PUSTAHA BATAK (W. M. Hutagalung) 1926 yang banyak memuat banyak kesalahan, bukan hanya mengenai keturunan Raja Naipospos tetapi juga silsilah (tarombo) marga-marga lain dalam suku bangsa Batak.
Kesimpulan
Kesatuan dan persatuan adalah hal yang terpenting. Berbicara mengenai silsilah (tarombo) tidak boleh hanya sekedar berargumen tetapi harus dibuktikan dengan fakta dan penjelasan sebaik mungkin. Amat sulit memang mengubah suatu ideologi (paham) yang dianut oleh seseorang. Hal tersebut hanya mungkin dapat terjadi dengan adanya sikap terbuka dan tanpa egoisme.
Merendahkan hati adalah jalan keluar dalam mengatasi perbedaan pendapat. Mengalah belum tentu kalah. Namun perlu diingat dalam kerendahan hati, tidak berarti mengiyakan apa saja pendapat orang yang belum tentu benar. Melainkan mengingatkan sesama yang kurang benar dan menjelaskan apa yang benar. Terima atau tidak itu terserah pada tiap individu. Namun terutama harus dengan rendah hati dan kasih seperti teladan dari Tuhan.
Tak selamanya apa yang diutarakan seseorang, kita baca, dengar, atau lihat adalah benar. Demikian pula halnya, tentang segala pendapat tentang keturunan Raja Naipospos. Dikhawatirkan pendapat-pendapat lain akan mungkin tambah lagi. Semuanya itu hanya dapat diatasi dengan menguji segala sesuatu dan memegang yang benar melaui merenungkan dan memikirkannya secara masak-masak dan semuanya itu ditujukan demi persatuan dan kesatuan terlebih memuliakan Tuhan.
Catatan kaki (referensi dan sumber)
Mansai harop do nian roha asa unang tapauba naung tarsurat di panorangion sisaotik on. Alai tapadimpudimpu jala tatambai ma na tarsurat on molo tung adong na taboto taringot turiturian pinompar ni Raja Naipospos. Alai tong ma taingot unang tapauba naung tarsurat di panorangion sisaotik na pinatupa on. Jala unang lupa hamu manurat goarmuna songon sipanambai dohot mual panorangionmuna di toru on. Porlu taboto molo adong turiturian taringot pangalaho na so patut sitiruon sian ompunta, unang pola tapabotohon tu situan na torop. Sae ma holan hita na umbotosa.
- Haran Ompu Basar Solonggaron Sibagariang (alm), mantan Kepala Negeri Huta Raja sebagai sumber tertulis dalam buku sederhana susunannya sendiri tentang Raja Naipospos dan Keturunannya
- Laris Kaladius Sibagariang, seorang yang dituakan dan kepala adat di Huta Raja, Kec. Sipoholon sebagai sumber lisan
- Maridup Hutauruk, sebagai sumber tertulis dalam artikelnya yang berjudul Benarkah Naipospos Menurunkan Tujuh Marga pada http://hutaurukbona.wordpress.com/2010/10/03/apa-benar-naipospos-menurunkan-7-marga/
- W. M. Hutagalung, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang bejudul PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak
- D. J. Gultom Raja Marpodang, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang berjudul Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak tentang marga keturunan Raja Batak